Pages

Subscribe:

Style_

Style_

Search

Copyright Text

Jumat, 13 Januari 2012

kumpulan cerpen

25 12 09
Oleh:Cen_rian
Matahari kini telah keluar dari singgasananya hendak memancarkan sinar yang indah. Laki-laki berambut lurus itu masih saja berbaring di tempat tidurnya. Tubuhnya masih terkapar tanpa menghiraukan semilir angin pagi yang begitu sejuk dan sinar fajar yang merekah berwarna keemasan.
Kakinya terasa berat untuk beranjak dari tempat tidurnya. Meski begitu dia harus tetap melangkah karena pagi telah tiba. Segelas kopi dan sebatang rokok menemani dirinya mengawali hari. Ya…suatu kebiasaan yang sudah melekat dalam dirinya dan sukar untuk dihilangkan. Dalam benaknya masih saja terbayang sosok yang indah. Sosok yang selalu menemaninya dalam suka maupun duka. Bidadari itu selalu datang di saat kemelut jiwanya menggebu. Buccu, itulah nama kesayangan untuk karang jantungnya. Nama itu selalu terucap dan tumbuh di relung hatinya. Bagi Apris, Buccu merupakan cahaya hidupnya yang selalu menerangi dalam gelapnya. Perbedaan tidak menghalangi mereka  dalam memadu kasih dan bersatu. Perbedaan itu indah, dengan perbedaan kita akan mengerti satu sama lain dan saling menghargai. Perbedaan akan sirna bila saling mencintai dan selalu berpikir positif.
Hari-hari yang indah mereka lewati bersama meskipun ada secuil masalah. Mereka mencoba untuk menghadapinya dengan tegar dan senyuman.
Hari itu perasaan Apris terasa kurang enak. Detak jantungnya semakin keras dan aliran darahnya semakin cepat dari sebelumnya. Apakah itu sebuah pertanda buruk ataukah hanya perasaannya. Dia juga bingung sendiri apa yang tengah dirasakan. Dia terbangun dari lamunannya, berjalan mendekati sebuah foto yang terpajang di dinding kamarnya. Matanya berkaca-kaca mengamati foto itu. Dia ingin sekali memeluk kekasihnya sambil mengecup keningnya. Tapi apa boleh buat, kekasihnya tidak bersanding dengannya saat itu.
Ingin rasanya dia tak mau kembali ke Malang, di kota yang menjadi tumpuan dan harapan untuk masa depannya. Ya...dia kembali ke kampung halamannya untuk berlibur dan menemui jantung hatinya. Tak kan lama lagi dia bersama keluarganya dan juga kekasihnya karena sebentar lagi dia harus kembali ke Malang. Pikirannya kacau balau, sekujur tubuhnya terasa panas, keringat bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Dia mencoba menenangkan diri dengan menyulutkan rokok yang diambil dari sakunya.
Tak terasa terik matahari semakin panas. Pagi kini beranjak siang. Embun pagi kini sirna ditepis sinar matahari yang membara. Pemandangan kota Sorong sangat indah. Di situlah Apris dibesarkan oleh bundanya. Suasana yang ramai membuat dia semangat dan bangkit dari kemelut jiwanya. Terdengar kicauan burung yang merdu seakan mengajaknya berdendang. Dengan senyum, kakinya melangkah menuju tempat yang membuatnya tertawa dan ria. Asap rokok mengepul keluar dari mulut menemani perjalanannya. Dia terus berjalan menyusuri gang-gang kecil di kota Sorong. Perjalanannya memang melelahkan tetapi dia tetap semangat karena perasaannya bergolak hebat ingin segera berjumpa dengan bunga hatinya.
Berat rasanya untuk menjelaskan maksud kepada kekasihnya. Mulutnya terbungkam, mukanya pucat pasi, dan hatinya begolak hebat seperti ombak di pantai. Pandangannya tajam memperhatikan bunga hatinya. Sepertinya dia tak mau mebuat kekasihnya menitikkan air mata kesedihan. Dia tak mampu menghadapi situasi ini, rasanya dia ingin pulang saja dan merebahkan diri di ranjang. Tetapi suara hatinya berkata lain, dia harus tetap menjelaskannya apa pun yang akan terjadi. Sebagai seorang lelaki sejati dan tangguh, dia mencoba bangkit dan menghadapi tantangan itu. Meski gemetar, tanganya tetap kuat menggenggam tangan Buccu kekasihnya yang cantik dan menawan itu. Dia menarik napas panjang dan memulai berbicara.  
“Buccuku yang cantik, ini situasi yang sulit buat saya. Sebenarnya saya tak kuasa menjelaskan ini semua, tetapi bagaimanapun juga saya harus menjelaskanya. Saya harus balik ke Malang besok. Saya harus meneruskan kuliah saya. Saya tahu, kamu pasti merasa sedih. Saya juga sedih meninggalkan Adinda seorang diri di sini. Tetapi, kamu tidak usah ragu, saya tetap cinta dan sayang kepada kamu. Meski raga kita jauh, hati kita akan tetap satu sekarang dan selamanya. Tak akan ada orang yang mengubah itu, yang penting kamu bisa menjaga hati. Sekarang saya berharap, kamu harus mengerti situasi ini. Buccu harus tahu, Apris akan selalu dan selalu mencintai Buccu, tak ada cinta yang lain. Buccu jangan khawatir, saya pun akan selalu menjaga cinta kita. Cinta yang telah lama kita bina. Sangat tidak mungkin kalau saya berpaling darimu sayang.”
Kekasihnya tidak berkata sepatah pun. Dia terdiam terpaku, air matanya membasahi wajah cantiknya. Ini memang terasa pahit, tapi ini adalah kenyataan yang tidak bisa diubah. Kenyataan yang harus diterima, meski mengisahkan luka dan menyakitkan. Hanya mereka berdualah yang mengerti perasaaan mereka saat itu.
Keduanya saling memandang tanpa berkata, situasi menjadi sunyi senyap. Dengan perlahan Apris mendekati kekasihnya, menggenggam tangannya, dan mencium keningnya dengan mesra. Kecupan itu dibalas kekasihnya dengan mesra pula. Keadaan menjadi hening kembali, tak ada yang memulai berbicara. Matanya menerawang membelah angkasa, matanya masih merah, pipinya masih terlihat bekas air mata. Apris hanya berharap, kekasih hatinya tetap setia menunggu kepulangannya beberapa tahun lagi. Dia tahu itu mungkin berat untuk kekasihnyam tapi dia percaya, kekasihnya pasti bisa. Butuh kesetiaan yang tinggi ketika menjalani cinta, apalagi cinta dengan jarak yang sangat jauh. Cintanya amatlah besar kepada Buccu dan hanya nama itulah yang ada di hatinya. Semoga Tuhan mengirimkan malaikat untuk kekasihnya. Doa itulah yang terucap dari mulutnya. Kekasihnya hanya terdiam memperhatikan dirinya tanpa mengatakan apa pun. Kesedihan dan kepedihan menguasai seluruh tubuhnya, menusuk hatinya, dan relung hatinya. Terasa perih bagai terkena siraman air garam di atas luka.
Air mata dihapuskannya dan berkata meski hatinya dibalut sedih.
”Cinta kita akan tetap bersemi, meski terpisah oleh jarak dan waktu. Saya akan selalu merindukanmu. Percayalah hati kita akan menyatu. Saya rela berpisah denganmu untuk sementara ini, saya yakin Tuhan akan mempertemukan kita kembali. Kamu harus berjanji tak akan mengecewakanku dan menduakan cinta ini. Sebab saya tak sanggup jika kamu berlabuh ke hati yang lain dan hanya meninggalkan luka yang membara.”
Betapa bangga hatinya mendengar pengakuan yang begitu tulus dari kekasihnya. Senyum pun memancar dari mulutnya. Dia pun berdiri memeluk kekasihnya dengan tulus dan mencium keningnya hingga beberapa kali. Pelukannya semakin erat sambil membisikkan janji sucinya. Keduanya saling berpandangan mengungkapkan janji setia akan selalu menjaga cinta. Hari semakin sore, raja siang kembali ke singgasananya, dua sejoli itu pun melangkah pelan berpegangan tangan dan sekali-sekali berpelukan sambil menikmati indahnya semesta ciptaan yang Maha Kuasa.
Siang menjadi malam, Apris pulang ke rumahnya untuk mempersiapkan diri kembali ke kota Apel. Bayangan cantik karang jantungnya selalu terbayang di pikirannya. Walaupun begitu dia harus rela meninggalkannya demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang sarjana komputer yang handal dan berkompeten. Hatinya gundah, matanya berkaca-kaca hendak menangis. Dia tak tahu apa yang dipikirkan kekasihnya. Adakah dia membayangkan dirinya. Sebentar lagi dia akan meninggalkan kota kelahirannya. Kota yang menyimpan seribu kenangan indah bersama kekasihnya. Dia bimbang harus berbuat apa, tetapi yang pasti dia akan berlabuh menuju kota Apel.
Mentari pagi merekah di ufuk timur. Suasana pelabuhan Sorong sangat ramai. Rupanya dia tidak merasakan hal itu. Dia melangkah dengan pelan dan melambaikan tangan untuk keluarganya yang ikut mengantarnya ke pelabuhan. Hatinya semakin sedih karena wajah kekasihnya tak tampak di situ.
            Hari berganti hari, dia hanya duduk termenung seorang diri dalam kapal, dan hanya bertemankan rokok. Ombak berkejaran di pinggir kapal, ikan-ikan kecil menari dengan riangnya mengiringi lajunya kapal. Dari kejauhan tampak kapal nelayan terlihat sedang berlayar mencari ikan untuk menyambung hidup. Dia masih saja duduk terasing di sudut kapal. Tak sadar dia menitikkan air mata membasahi pipinya. Dia merindukan kekasihnya, senyum manisnya, dan belaian tangannya.
            Setelah berhari-hari mengarungi lautan luas, menjalani hari dengan kesepian, dia pun telah sampai di kota Malang. Dia senang tiba dengan selamat di tempat tujuan. Ingin rasanya Buccu bersamanya menikmati indahnya kota Malang. Tapi apa boleh buat, kekasih yang dicintainya ada di seberang pulau di ujung timur Indonesia . Meski begitu, dia tetap mencintai dan menyanyangi kekasihnya dengan sepenuh hati. Suasana Malang yang indah tidak bisa menghapuskan nama kekasihnya dari hatinya, apalagi melupakannya. Dia menahan rindu yang semakin menggebu dengan sabar.
“Selama saya bisa bernapas dan masih sanggup melangkah, saya akan selalu mencintaimu. Saya akan berusaha melawan godaan yang datang silih berganti,” gumamnya dalam hati.
Udara pagi masuk kamarnya melalui celah-celah jendela. Dia terbangun dari tidurnya. Dengan senyum menyambut indahnya sinar mentari pagi yang indah. Wajahnya lebih cerah dari biasanya selama beberapa hari ada di kota Malang. Semalam dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya, meskipun hanya mimpi dia tetap senang.
Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cintanya, dan yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmmm…cinta digoda oleh cinta. Untungnya kesemuanya itu bisa di atasi karena cintanya tulus dan suci kepada Buccu. Berkat kesetiaan, hati mereka tetap bersatu meskipun terkadang penuh dengan luka-luka cinta.
Setahun telah berlalu, usia hubungan mereka kini dua tahun. Selama ini banyak aral melintang yang dulu mereka hadapi bersama. Dengan cinta, semuanya pasti bisa dilewati. Tepatnya 25 Desember awal sebuah cerita. Dua insan yang berbeda melebur menjadi satu dalam cinta. Menjalani segala suka dan duka bersama, mengarungi perihnya hidup dengan cinta. Apris ingin sekali mengucapkan selamat ulang tahun hubungan mereka buat kekasihnya. Dia ingin menuliskan sebuah puisi yang mewakili isi hatinya. Tapi dia bingung untuk memulainya. Sekian lama dia termenung. Dia pun mengambil sebuah pena dan kertas putih seputih cintanya dan dia mulai menulis. Dia merangkai kata demi kata hingga lahirlah sebuah tulisan yang indah. Lewat tulisan tangannya, dia mecoba melukiskan betapa besar cintanya pada kekasihnya.
     Rasa cinta
Sekian lama kita bersama
Menjalin hubungan dengan cinta
Merasakan perihnya hidup bersama
Dengan canda dan tawa
Tak ingin kujauh darimu
Kuingin engkau tahu betapa besar rasa cinta ini
Ini bukan rayuan atau bualan
Aku merasa engakaulah dewiku
Selalu menghiasi jalanku
Hariku terasa hampa
Napasku terasa hampa
Hatiku juga hampa
Tanpamu, tanpa senyummu, dan cinta kasihmu
Tak ingin kusendiri menjalani hidup ini
Tak pernah hilang rasa cinta ini
Namamu kini bersemi dalam nadiku
Berkembang dan subur dalam hatiku
Walau banyak yang datang mencuri hatiku
Tetapi aku mencintaimu dan mereka tak seindah dirimu
Kamulah satu-satunya dewiku
Kamulah pelita dalam gelapku
Kamulah bunga hatiku dan tak akan pernah ada yang baru
Kamulah penguasa hatiku
Denganmu aku mengerti arti cinta
Denganmu aku merasakan indahnya hidup
Cinta ini hanya untukmu
Hanya untukmu sayang
Abadi untuk selamanya hingga kiamat menjelang
Kamulah nomor satu
Walau jarak dan waktu memisahkan kita
Namun cinta ini begitu indah untukmu
Namamu selalu di hatiku
Malang, 19/10/2011




 
Senja di Sore Hari
Hal terindah dalam hidupnya adalah mendapatkan cinta dari gadis berambut hitam lurus, bermata sipit dan berwajah ayu. Lelaki berjenggot dan beruntung. Dalam hidupnya dia tidak pernah merasakan dahaga akan cinta. Mantra dahsyatnya mampu menarik pesona perempuan yang disukainya. Ada-ada saja akalnya untuk menaklukkan hati wanita. Di bilang cakep, tidak juga. Di bilang jelek, tidak juga. Penampilannya tidak perlente. Tidak juga berpenampilan seperti eksekutif muda. Celana setengah lutut, berkaos lengan pendek adalah kesukaannya. Hanya saja dia mempunyai kelebihan dalam menarik simpati perempuan teman sekolahnya. Dia adalah Chrys, sahabat baikku. Sahabat yang sangat dikagumi oleh teman-temannya. Dia dikagumi bukan karena prestasi akademik, tetapi karena keahliannya menundukkan hati wanita. Bagai taman tak berbunga, begitulah kata pujangga jika hidup tanpa cinta. Hari-harinya selalu ia rajut dengan kekasihnya yang bernama Ayu. Keduanya saling mencintai sejak Chrys kelas tiga SMA. Ayu adalah temanku juga. Ayu sangat cantik. Dia termasuk perempuan yang banyak digandrungi oleh pria teman sekolahku. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Dengan pesona dahsyatnya, Chrys mampu meluluhkan hati perempuan itu. Senyum manisnya selalu ia ciptakan di mulutnya. Dia tipe perempuan yang tidak sombong. Kecantikannya bertambah sempurna dengan kebaikan tutur bahasanya.
“ Temani aku ya ke tempatnya Ayu,” kata Chrys sore itu.
Aku tersenyum lirih mendengar ajakan sahabatku. Aku bangga sekali diajaknya bertemu Ayu. Dengan semangat, aku dan sahabatku melangkah menuju rumah Ayu yang letaknya tidak jauh dari kosku.
“ Silahkan masuk,” kata Ayu sambil tersenyum melihat ke arah Chrys. Aku tertegun menatap wajah cantik yang berdiri tegak di hadapanku. Rambutnya terurai sampai ke punggungnya. Mulutnya tiada henti menebar senyum. Chrys hanya tersenyum melihat penampilan kekasihnya sore itu. Keduanya bercakap serius. Aku jadi malu. Aku mau keluar dari ruangan itu. Aku tak mau mengganggu mereka. Tetapi tangan Chrys menggenggam erat tanganku. Pertanda dia tak mengehendaki aku keluar. Aku tahu, sahabatku itu malu, karena di ruangan itu ada adik karang jantungnya. Semua begitu cepat dia atasi. Chrys kelihatan jantan menunjukkan culanya. Aku semakin malu, telingaku terasa panas. Perasaanku dihantui rasa bersalah. “Mengapa aku harus ikut dia kemari?”. Lamat-lamat aku mendengar percakapan mereka. Aku berpura-pura tidak mendengarnya sambil menikmati rokok yang aku beli di kios sebelah rumah Ayu.
“ Kita akan berpisah, tetapi bukan putus. Sebentar lagi raga kita akan berjauhan, namun hati kita akan tetap menyatu,” kata Chrys dengan suara lirih.
Suasana semakin hening. Ayu tidak segera merespon ucapan Chrys. Dengan sembunyi-sembunyi aku melihat Ayu. Wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Merah padam. Dia tak sanggup harus berpisah dengan laki-laki yang tertunduk lesu di sampingnya. Aku juga memandang sahabatku. Dia juga terlihat sedih. Bibirnya tidak bergerak. Aku tahu mereka saling mencintai. Selama ini aku tidak pernah lihat hal semacam ini. Yang aku tahu mereka selalu berpegangan tangan mengarungi hari-hari dengan senyum semangat. Detik berlalu, menit menghilang. Sebatang rokok yang kusulut habis tinggal debu. Seminggu yang lalu Chrys dinyatakan lulus ujian nasional. Wajahnya cerah dan bersinar. Ia sangat lega. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Ia lulus dengan nilai yang memuaskan. Sore ini, semuanya berubah. Mendung kini menggelayut di hatinya. Rundung pilu melingkar sekujur tubuhnya. Dalam keheningan yang mencekam, tak satupun di antara mereka yang memulai berbicara. Dua-duanya membisu di atas sofa empuk. Tunduk, tak tahu apa yang yang sedang dipikirkan. Aku pun ikut-ikutan diam. Angin senja menjelang malam bertiup dengan lembutnya memenuhi ruangan itu. Suara adzan kini menggema. Hening, hening dan hening.
            **
Sebelum berangakt ke Surabaya, Chrys berpesan kepadaku untuk selalu menjaga kekasihnya. Aku menyanggupi permintaanku sahabatku itu. Walau raga terpisah jarak dan waktu, hati tetap menyatu. Sekarang teknologi semakin canggih. Ketika rindu menguasai seluruha hati, kirimkan saja pesan via HP atau menelepon. Rasa curiga membuat hubungan jarak jauh tidak berjalan mulus. Saling percaya dan tetap berkomunikasi adalah obat yang paling mujarab mengatasi segala kecurigaan itu. Ayu cemas, Chrys berpaling darinya. Rasa curiga semakin hari semakin menjalar dalam hatinya. Pikirannya dipenuhi rasa takut. Takut kalau dikhianati. Hari-hari ia lalui dengan bayang-bayang rasa cemas.
“ Aku takut dia tidak mencintai aku lagi. Mungkin saja dia membohongiku kalau dia tetap setia. Semakin hari aku semakin cemas. Aku harus bagaimana?” kata Ayu kepadaku sepulang sekolah. Aku terdiam mendengar hal itu. Aku juga cemas, apakah Chrys masih mencintai Ayu. Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu. Aku bingung harus berkata apa. Sepanjang yang aku tahu, sahabatku sungguh mencintai Ayu. Sekarang dia tidak di sini lagi. Tak tahu, apakah ia masih merindukan Ayu atau tidak. Namun, aku percaya pada sahabatku. Aku sudah mengenalnya sejak lama. Dia memang mempunyai keahlian dalam urusan perempuan. Bukan berarti dia suka mengobral cintanya sana sini. Dengan rasa percaya yang kuat, aku berani mengatakan kepada Ayu kalau sahabatku masih mencintainya.
“ Tak perlu engkau berpikir demikian. Yakinkan saja, kalian akan tetap menyatu. Jangan engkau dengarkan apa kata orang tentang Chrys. Percayalah!” Kataku dengan mantap.
 “ Iya, aku percaya padamu,” jawabnya dengan senyum di garis bibirnya.
“ Bukannya kalian tetap berkomunikasi?” tanyaku ketika Ayu masih diselimuti kecemasan.
“ Aku selalu meneleponnya. Dia juga begitu.”
“ Itu tandanya, dia masih mencintai dan merindukanmu,” jawabku dengan mantap.
Ayu menatapku. Pandangannya terarah lurus kepadaku. Pandangannya memelas. Aku bingung harus berkata apa lagi untuk meyakinkannya. Sorot matanya penuh kesetiaan, meskipun terlihat cemas. Aku sangat yakin, ia benar-benar mencintai sahabatku. Hanya saja dia belum merelakan sepenuhnya harus berpisah. Dia terus menatapku. Aku tak mengerti apa arti semua itu. Mungkin ia ingin menunjukkan kepadaku betapa ia mencintai sahabatku. Aku sendiri hanya diam menatap langit. Aku berharap Chrys mengerti semua ini. Dia tersenyum, lalu pamit pulang.
**
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga setahun mereka terpisah jarak dan waktu. Aku selalu mengabarkan ke sahabatku kalau Ayu masih setia. Ketegaran dan kesetiaan Ayu membuatku tersenyum kagum. Berkali-kali dia selalu menolak cinta lelaki yang mendekatinya. Hal ini membuktikan dia sangat mencintai sahabatku. Siapa yang tak terlena dan terbuai oleh kecantikannya. Tak salah jika banyak yang tergila-gila kepadanya. Tetapi, Ayu tetap pada pendiriannya. Nama Chrys selalu di hatinya. Dia tetap setia meskipun banyak godaan yang datang. Angin lembut bertiup dari gunung. Dinginnya kota Ruteng menusuk kulit halusnya. Kesendiriannya tidak membuatnya berhenti tersenyum. Rambutnya yang terurai menari-nari di belakang punggungnya. Aku tersenyum. Sungguh beruntung sahabatku. Perempuan secantik itu ia taklukkan. Zaman sekarang, tidaklah banyak perempuan yang setia. Dari sepuluh wanita, hanya satulah yang setia. Di antara yang sepuluh itu, nama Ayu berada paling atas. Nomor satu, pikirku dalam hati.
            Sinar mentari menerobos masuk kamarku lewat celah-celah jendela. Seperti biasa, aku ke sekolah berjalan kaki. Jaraknaya cukup jauh. Biasanya Ayu menungguku di perempatan jalan. Semenjak Chrys kuliah di Surabaya, akulah yang selalu menemaninya. Aku adalah teman curhatnya. Segala sesuatu tentang Chrys selalu ia ceritakan kepadaku.  Dia percaya apa kataku tentang Chrys, termasuk kesetiaan Chrys. Tak seperti biasanya Ayu tidak menungguku. Selama setahun ini, dia selalu menungguku di perempatan jalan. Di sekolah pun dia menghilang dari pandanganku. Aku merasa ada sesuatu yang membuatnya begini. Ternyata aku benar. Belakangan aku tahu, dia sangat kecewa denganku. Aku selalu bilang, Chrys akan selalu setia. Kenyataannya tidak demikian. Rupanya usai sudah dia mempercayaiku. Dia membenciku. Senyumnya yang khas hilang sama sekali. Sinar matanya yang polos bening dipenuhi rasa kecewa. Dia menganggap Chrys bagian dari hidupnya. Dia sangat jauh berbeda dengan yang lain, lebih berkesan, lebih banyak mengandung makna karena bukan hanya raga melainkan juga jiwa yang menyatu. Itulah yang Ayu katakana kepadaku. Sayang sekali, itu hanya khayalan Ayu dalam mimpi malamnya. Betapa besar Ayu mengagumi Chrys. Namun sahabatku itu telah membuat luka di hatinya. Sahabatku itu menabur benih kekecewaan. Dia merusak semuanya.
Semua bukan semata-mata salahku. Semua salah sahabatku. Ini sifat sahabatku yang baru aku tahu. Membuat prahara. Perjalanan cinta mereka kandas di tepi jalan. Sahabatku yang aku puja-puji memulai suasana kacau. Sahabat yang aku kagumi selingkuh. Dia tidak seperti yang bayangkan dan ku harapkan. Dia membuat Ayu membenciku. Dia tidak seperti yang ku kenal dulu. Sejujurnya, aku tak tahu semua prahara ini. Ayu mengetahui perselingkuhan Chrys setelah melihat akun facebook (FB) milik seorang perempuan bernama Dian. Dalam album FBnya, Dian berpose mesra dengan Chrys. Semuanya tampak jelas. Chrys sahabatku selingkuh. Ayu menuduhku sengaja menutup-nutupi perselingkuhan sahabatku itu. Namun nyatanya, aku tidak tahu sama sekali. Ayu sangat membenciku. Dia tidak mau bertemu denganku lagi. Rasa benci memuncak ketika ia melihatku. Aku mencoba menjelaskan semuanya. Tetapi, tak sekali pun ia memberiakan aku kesempatan untuk berbicara. Dalam hati, aku sangat membenci sahabatku sendiri. Aku selalu mengumpatnya setiap waktu. Dia telah merusak persahabatanku dengan Ayu. Aku mersa bersalah terhadap Ayu. Semua kesalahan sahabatku aku yang menanggungnya. Sungguh ironis, kesalahan orang ditanggung orang lain. Dengan sembunyi-sembunyi aku melihat Ayu di sekolah. Matanya berkaca-kaca, sinar wajahnya memudar. Bibirnya kehilangan cahaya. Tidak kelihatan lagi keceriaannya. Dia sering melamun di sekolah. Kekecewaan masih tergambar dalam benaknya. Wajahnya gelap dan kusut. Keindahan mimpinya terputus. Aku iba melihat semua itu. Aku mencoba mencairkan suasana. Aku mendekatinya untuk meminta maaf jika memang dia menganggapku bersalah. Aku juga meminta maaf atas nama temanku. Kali ini dia tidak menghindar ketika aku mendekat. Aku mulai berbicara. Meminta maaf setulus hati. Tetapi, tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Aku malu, dia tidak menggubrisku. Aku tahu, dia sangat kecewa.
Bertahun-tahun menjalin hubungan berakhir dengan menyisakan kesedihan. Kesetiaan yang ia tanam berbuah air mata kesedihan. Tatapan matanya tajam setiap kali berpapasan denganku. Sejak saat itu, aku jarang sekali bertemu denganku. Apalagi berbincang denganku. Semua keburukan Chrys tercium juga meskipun ia menutupnya rapat-rapat. Aku pernah mencoba menanyakan hal ini pada Chrys, namun nomor ponselnya tidak aktif lagi. Rupanya dia mengganti nomor ponselnya. Tak tahu sampai kapan Ayu membenciku. Entahlah. 
Malang, 13 Desember 2011 
SANG PENCERAH
oleh: Cen Rian
Hijaunya alam masih terlihat asri di desanya. Gunung yang menjulang tinggi masih dihiasi pohon-pohon tua yang kokoh. Tampak burung-burung bernyanyi dan berdendang dengan riang. Mengepakkan sayapnya yang indah, menyambut mentari yang hangat sebagai tanda sebuah hidup baru. Sinar mentari menyinari ranting-ranting pohon, melahap sisa-sisa embun yang bertengger di dedaunan. Di dekat gunung itu ada sebuah kampung yang sangat seerhana. Di sudut kampung sebuah gubuk berdiri, tiangnya dari kayu hutan. Gubuk itu sudah reot.
Andy masih tergolek lemas di tempat tidurnya. Ia belum membuka mata, ia belum siap menyambut indahnya pagi bersama mentari dan suara burung yang merdu. Ia masih ngantuk. Perlahan sinar mentari berwarna keemasan masuk kamar mungilnya melalui celah-celah rumahnya yang berdinding bambu. Ibu sejak tadi menyaipkana makan pagi buat anak-anaknya. Dengan semangat yang membara, ibu bekerja sejak subuh di dapur. Meskipun ia kadang batuk kecil-kecil. Hal itu tidak menyurutkan niatnya melayani buah hatinya dengan segenap hati. Sedikit demi sedikit Andy mulai membuka mata. Tetapi, tak lama kemudian ia kembali merebahkan raganya di atas tempat tidur, ia teringat akan adiknya Romy. Semenjak ditinggal mati ayahnya, Andylah yang bertanggung jawa atas keluarga kecilnya itu. Ia harus bekerja siang dan malam, membanting tulang demi menafkahi adik dan ibunya. Apalagi ibu sering sakit-sakitan seperti saat ini, ia harus bekerja dengan keras lagi demi membeli obat buat ibunya. Ia tak mau adiknya putus sekolah seperti dirinya. Dia juga tak mau ibu menyusul ayah ke surga menemui Tuhan. Membayangi wajah ayahnya membuatnya menangis. Ayah yang menjadi pemimpin  keluarganya telah meninggal. Kini tahta yang dipegang ayahnya berpindah ke pundaknya. Ia meyesal dan sedikit kecewa. Seribu pertanyaan menyerbu otaknya, membuatnya kaku dan gemetar.
“Mengapa Tuhan mencabut nyawa ayah begitu cepat? Apakah salah hamba ya Tuhan? Mengapa Engkau tidak membiarkannya hidup lebih lama lagi bersama kami?,”katanya lirih dengan isak tangis sambil memukul bantal. Kini percuma saja ia menangisi kepergian ayahnya. Semuanya tidak akan pernah bisa merubah keadaan.
“Nak, bangun. Ibu sudah siapkan minuman kesukaanmu,”kata ibu dengan melodi batuk kecil.
“Iya bu, sebentar lagi aku ke dapur,”jawab Andy sambil mengusap matanya yang dipenuhi air mata.
Perlahan Andy melangkah menuju dapur. Ia melihat ibunya sedang memasak. Diperhatikannya dengan cermat orang yang melahirkannya itu. Rambutnya sudah beruban sedikit. Badanya kurus, tidak seperti dulu saat ayahnya masih hidup.
“Itu kopinya ada di meja,”kata ibu sambil menunjuk ke arah meja kecil yang terbuat dari bambu.
            “Iya bu, terima kasih,”jawabnya lirih.
“Romy sudah berangkat sekolah. Kamu masih tidur saat ia berangkat. Adikmu tak mau membangunkanmu,”kata ibu menoleh ke arah Andy.
Andy berjalan pelan menuju meja kecil itu. Meja itu sangat berarti buat Andy. Meja itu ia buat bersama ayahnya dua tahun yang lalu. Usia meja itu tidak muda lagi, tidaklah heran jika sekarang benda itu sudah reot, rapuh bahkan patah jika sekali ditendang.
            Andy sejak tadi diam, memandang indahnya pepohonan yang melambai di samping rumahnya. Pikirannya jauh melangkah dari jiwanya. Ibu memperhatikan anak sulungnya itu. Memperhatikan air mukanya yang kehilangan cahaya. Ibu sudah memiliki banyak pengalaman, sudah mengenal betapa susahnya hidup. Ibu tahu Andy menanggung beban berat di pundaknya. Sudah lama Andy tidak lagi memiliki banyak waktu untuk berkumpul dengan teman sebayanya. Semua waktu ia gunakan untuk bekerja, tak ada waktu untuk bersenda gurau dengan tetangga sebelah. Di usianya yang masih 18 tahun, ia sudah harus mejilat dan menelan pahit empedu hidup. Ia seharusnya tidak terkurung dalam sangkar emas yang dipenuhi duri dan bebatuan yang tajam. Ini bukan tempatnya berada, ia harusnya mengenyam pendidikan bersama teman-temannya. Namun, apa boleh buat, Tuhan menghendaki ia harus membanting tulang demi keluarga kecil yang ia cintai itu. Ia murung, tertunduk lesu dalam kesusahannya. Meskipun Andy berkilah, namun ibu merasakan semua penderitaan yang ia jalani.
“Nak, maafkan ibu. Semua penderitaan ini seharusnya ibu yang tanggung, bukan kamu nak. Kamu seharusnya di sekolah, belajar dan menata masa depanmu. Meraih segala asamu yang sudah lama kau inginkan. Maafkan ibu nak, ibu sudah menarikmu untuk bersama ibu menjalani hidup yang sulit ini,”kata ibu dengan suara tertahan sambil mengusap wajah Andy. Air mata kesedihan yang selalu menemaninya setiap saat jatuh berderai melewati garis-garis kerpiut yang memnuhi wajah yang keriput.
Andy tak sanggup berkata, mulutnya terkunci. Hanya air mata yang meleleh jatuh dari matanya. Andy memeluk ibunya erat dengan suara tangis yang sendu. Ia merasakan hangatnya berada dalam pelukan ibunya. Andy mengusap air mata ibunya, ia tak mau ibu selalu menyalahkan dirinya sendiri.
“Bu, ini bukan salah ibu atau salah ayah yang mendahului kita. Ini bukan juga salah Tuhan. Ini ujian bagi kita bu, ini jalan hidup yang harus kita jalani. Biarkan kau bekerja demi Ibu juga Romy. Akulah yang menggantikan ayah. Aku yang bertanggung jawab atas semua ini. Ibu, aku mohon jangan menangis lagi,”seru Andy sambil memandang ibu yang tnduk lesu.
“Seandainya ayahmu masih hidup, ia tak mungkin membiarkanmu seperti ini. Segala penderitaan ini merampas kebahagiaanmu. Ibu takut ayahmu marah melihat ibu yang tak sanggup membahagiakan kamu dan adikmu,”kata ibu sambil mengusap pelan wajah anaknya.
“Bu, aku yang seharusnya membahagiakan ibu juga adik. Aku lebih bahagia lagi jika suatu saat Romy menjadi orang berguna bagi kita juga bagi negara ini,”kata Andy sambil menggenggam erat jari-jari tangan ibunya yang sudah tua.
Suasana haru menyelimuti gubuk tua itu. Andy pamit, ia harus bekerja. Suasana rumah kembali sunyi. Andy berangkat kerja, Romy berangkat sekolah sejak tadi. Semua rumah dikeliling gubuk tua itu sunyi senyap. Semuanya ke ladang, mengadu nasib dengan mencangkul tanah. Sawah peninggalan ayah kini digarap tetangga karena ibu tak sanggup mengerjakannya sendiri. Ibu kehilangan cerianya sejak ayah meninggal. Ibu banyak menghabiskan waktu mengurung diri di rumah. Apalagi ibu sakit-sakitan, ibu tidak bisa bekerja seperti dulu lagi. Kesedihan selalu datang menjadi bayangan dari raga yang kurus itu. Bibir yang dulunya merekah sekarang menjadi kering dan kaku. Tangan tidak lagi lincah bergerak bebas. Semuanya kaku, sendi-sendi menjadi lemas. Otot tidak berurat lagi. Setiap hari ibu menjaga rumah, menyiapkan makan siang buat anak bungsunya. Di rumah tidak ada radio. Ibu tidak pernah mendengar lagu-lagu nostalgia yang mungkin bisa membuatnya sedikit senang dalam sedihnya. Yang ibu dengar hanyalah alunan melodi alam. Ibu dirundung pilu dalam rumah peninggalan ayah. Musik yang ibu dengar adalah desahan angin yang memadukan untaian kasih mengalun lembut.
***
Matahari kian meninggi, udara sudah mulai panas. Tidak terlihat lagi embun memantulkan cahaya yang berkilauan. Tiupan angin yang sepoi membuat pohon-pohon bergoyang melambai. Suasana di tempat kerja Andy sangat ramai. Sejak tadi ia sibuk merapikan balok-balok kayu yang sudah digergaji oleh karyawan lainnya. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Dia tetap semangat tanpa mengenal lelah. Yang ada dalam benaknya adalah bayangan ibu juga adiknya. Ia bertekad membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Dia rela melakukan apa saja dan mengerjakan apa saja demi mereka. Wajahnya mencerminkan orang tidak mau menyerah, pipinya mengempis, batang hidungnya tidak terlalu mancung.
“Andy...Andy, istirahat dulu. Ayo sini minum dulu, kembalikan semua tenagamu yang sudah terkuras,”kata Pak Amin orang tertua di tempatnnya bekera mengadu nasib.
“Iya pak, sebentar lagi ini selesai kok,”sahutnya tanpa menoleh.
“Eh, jangan begitu. Nanti kamu kecapean, ayo cepat kemari,”lanjut Pak Amin sambil memandang Andy yang terus saja memindahkan balok-balok.
“Iya pak,”jawabnya sambil tersenyum lirih ke arah Pak Amin yang sejak tadi memperhatikannya.
Andy berjalan pelan menuju Pak Amin. Tangan kirinya mengambil sebuah kain dari dalam saku celananya, mengusap wajahnya yang dipenuhi serbuk balok yang melekat erat bersama keringat. Pak Amin mennyodorkan segelas air putih. Pak Amin tidak bosan-bosan memandang Andy. Pak Amin angkat topi kepada Andy yang memiliki jiwa pejuang.
“Kamu tidak beda jauh dengan almarhum ayahmu. Aku kenal baik dengan ayahmu. Ayahmu pekerja keras seperti dirimu. Ia juga suka membantu, singkatnya ayahmu orang yang baik dan berbudi luhur,”kata Pak Amin sambil menepuk-nepuk pundak Andy.
Andy hanya tersenyum mendengar pujian Pak Amin. Ia mengurungkan niatnya untuk membahas lebih jauh lagi tentang almarhum ayahnya. Semakin jauh dibicarakan, hatinya semakin sedih disayat seribu duka. Jauh dalam hatinya, ia tersenyum bangga pada ayahnya. Ayah meningal dengan meninggalkan jejak-jejak langkah positif yang tak mungkin lenyap dilahap matahari, tak akan hilang dibunh kelam, dan tak akan musnah dimakan zaman.
“Hei, kenapa kamu diam sahabat mudaku,”suara Pak Amin membangunkan Andy dari dunia lamunannya.
“Eh...iya pak. Tidak apa-apa kok pak, aku hanya memikirkan ibu di rumah. Ibu kesepian di rumah,”kata Andy dengan mata berkaca-kaca.
“Bapak tahu nak, kamu mencintai ibu juga adikmu. Semua doamu akan didengarkan Tuhan. Percayalah pada bapak,”kata Pak Amin mantap.
“Ibu sakit-sakitan pak. Pak Amin lihat sendiri kan bagaimana keadaan ibu sekarang. Aku tak tahu aku harus kemana lagi mencari uang tambahan untuk membeli obat buat ibu.
“Yang sabar nak,”kata Pak Amin pelan.
Pak Amin tak tahan melihat penderitaan Andy. Pak Amin diam memandang Andy yang selalu murung, hanya sebentar saja ia melihat Andy tersenyum. Tak lama senyum itu akan hilang bersama angin yang selalu berhembus. Pak Amin menitikkan air mata, ia juga bingung bagaimana harus membantu Andy. Sementara kehidupannya sendiri serba berkecukupan.
“Hanya doa yang bisa aku berikan padamu nak,”kata Pak Amin dengan pelan sehingga Andy pun tak mendengarnya.
***
Perlahan matahri merambat jatuh di ufuk barat. Panasnya matahari berganti desahan angin yang sejuk. Andy berjalan gontai menuju rumahnya. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja. Ia kadang tersenyum sendiri merenungi hidup yang menurutnya sungguh ironis, yang sewaktu-waktu bisa seperti ayahnya. Ia berjenti sejenak di depan istananya yang sekarang tidak mengkilat itu. Ia mendengar suara yang begitu sahydu, yang membuatnya damai dan tenang menjalani hidup yang semakin ganas. Lantunan ayat-ayat suci begitu menenagkan hatinya yang selalu resah dan gelisah. Ia melihat ibu bersujud syukur kepada sang pencipta. Segala keluh kesah hidup dipasrahkan ke hadirat Tuhan. Dengan cermat ia memperhatikan wajah ibunya yang begitu kuat memancarkan kesungguhan memohon pertolongan Yang Maha Kuasa. Terdengar lonceng Gereja tua berdenting dari sudut kampung. Spontan Andy memandangi Rosario yang bergantung di dalam ruang tamu rumahnya.
“Tuhan, kuserahkan hidupku pada-Mu,”katanya dengan penuh harapan.
Andy melangkah pelan masuk ke dalam rumah setelah ibunya selesai berdoa.
“Kamu sudah pulang nak,”sapa ibu dengan lembut.
“Iya bu,”jawab Andy tersenyum sambil membungkuk menyalami tangan ibunya.
“Ibu sudah buatkan minuman hangat buat kamu,”kata ibu sambil menunjuk ke arah meja ruang tamu.
“Ini bu uang hasil kerja Andy hari ini,”katanya sambil mengulurkan tangan ke arah ibunya.
Ibu tidak berkata, ibu hanya menangis menerima pemberian Andy. Biasanya yang mengulurkan tangan seperti itu adalah ayah. Tetapi sekarang tidak lagi. Semuanya sudah berubah, ayah kini tiada. Dengan mata berbinar-binar Romy datang memeluk kakaknya dari belakang. Pelukan Romy dibalasnya. Jadilah gubuk itu diselimuti kesedihan yang tak akan hilang sampai Tuhan benar-benar merubah nasib mereka. Namun jauh dalam hati ibu, dia tetap percaya kalau Tuhan tidak tidur melihat penderitaan mereka. Ibu yakin Tuhan akan membatu mereka pada saat yang tepat.
“Maafkan Romy kak, Romy tidak bisa membantu kakak mencari uang,”kata Romy sambil menangis.
“Tidak apa-apa dik, kakak ikhlas menjalani hidup demi membahagiakan kamu dan ibu,”katanya seraya mengusap air mata adiknya.
Andy duduk santai di samping ibunya. Ia memandang foto ayahnya yang gagah terpajang di dinding. Andy tak kuasa melihat ibu yang semakin hari semakin memburuk. Ia takut kenyataan pahit terus datang mengerumuni hidupnya. Ia memeluk adiknya sambil berbisik di telinganya.
“Tabah dik. Sekarang, kamu harus belajar dengan rajin biar nanti kamu jadi anak pintar. Jadilah Romy yang bisa menggantikan tangis ibu dengan senyum,”katanya sambil menepuk pundak adik semata wayangnya.
“Iya kak,”jawa adiknya pelan.

Sinar matahari telah redup digantikan sahabat sejatinya bintang dan bulan. Bintang tampak berseri membagi sinar. Bulan dengan ramah menyinari gubuk gubuk kecil yang beratap alang-alang itu. Dalam rumah Romy dengan semangat membaca buku-buku pelajaran sekolahnya. Membolak-balik kertas demi kertas, halaman demi halaman. Membaca berulang-ulang lembar-lembar yang belum ia pahami. Sementara Andy masih saha menerawang langit malam yang bertaburan bintang. Pikirannya jauh melayang, terbang di antara benda malam-malam yang diselimuti cahaya berkilau. Malam semakin kelam, dalam rumah hanya ada sebuah pelita yang sinarnya cukup untuk menerangi sudut-sudut rumah. Alunan suara jangkrik dan binatang malam lainya seperti melodi indah yang membuat Andy tidak tersiksa dalam kebosanan dan kesepian. Meskipun hidup penuh derita, ia tetap bersyukur atas karunia Tuhan. Ia kembali melirik Rosario yang melingkar indah di lehernya.
“Tuhan dengarkan doa-doaku,”gumamnya dalam hati.
Hidup yang ia jalani memang berat, mengarungi mimpi dalam relita yang kejam. Begitu rapuh hingga ia kadang menangis dalam kesendiriannya. Namun, ia tidak membiarkan dirinya larut dalam relita hidupnya yang digenangi kesusahan. Perlahan, angin sepoi mensuk kulitnya. Dua tangannya ia rapatkan ke dada, mencari kehangatan dalam dinginnya malam.
“Nak, kamu belum tidur?”tanya ibunya lembut
“Aku belum ngantuk bu, ibu tidur duluan saja. Tuhan memberkati ibu,”doanya untuk ibu.
Andy belum mau tidur, ia masih duduk di depan rumahnya. Romy sudah pulas, ia tampak menikmati tidurnya dalam buaian malam. Ia melirik adiknya lewat jendela tepat di sampingnya.
“Tuhan memberkatimu dik.”
Ia kembali menyandarkan raganya di atas kursi kecil, memainkan jarinya sambil menghangatkan tenggorokkannya dengan teh buatan ibunya. Ia menagis melihat keadaan ibunya yang semakin buruk. Ibu kelihatan kurus dan lesu. Ia takut mimpinya menjadi kenyataan. Ia pernah bermimpi ayah datang menjemput ibunya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan jika memang itu akan terjadi.
“Tuhan, sembuhkanlah ibu dari penyakit yang membelenggu hidupnya.”


SAHABAT DAN CINTA
Oleh: cen rian
Sinar mentari berwarna keemasan mulai merekah di ufuk timur menyinari kota Malang yang tampak indah di pagi hari. Suara burung tekukur dari dalam sangkar begitu merdu menghiasi pagi sebagai tanda awal kehidupan baru. Perlahan mentari masuk sebuah kamar mungil melalui celah-celah jendela. Kamar itu tampak sederhana dan indah dibalut dinding dengan cat dan hiasan warna-warni. Tidak ada barang mewah yang ada dalam kamar itu. Tidak terlihat kunci sepeda motor tergantung di paku. Tidak ada helm atau jas hujan. Yang ada hanyalah sebuah meja dengan buku-buku tertata rapi di atasnya. Di samping meja itu ada sebuah lemari tua dan pintunya sudah rusak. Untaian nada suara burung-burung peliharaan milik tetangga menjadi satu melodi yang indah. Laki-laki jangkung itu tidak merasa terusik.
Ia belum juga bangun, ia masih tergolek di atas sprei usang miliknya dengan sarung berwarna cokelat sebagai pembungkus raganya. Laki-laki berambut ikal itu tampaknya tidak menghiraukan betapa indahnya bumi saat pagi berkuasa. Dengan langkah masih terseot-seot, ia pun bangun. Matanya masih belum sempurna terbuka, rambut ikalnya acak-acakan. Ia berjalan gontai ke kamar mandi yang letaknya tidak terlalu jauh dari kamar mungilnya. Segayung air dari bak mandi cukup untuk membasuh mata dan mukanya. Segelas kopi dan sebatang rokok adalah awal harinya. Ia selalu melakukan itu kala kantongnya tidak dalam keadaan kosong. Suatu kebiasaan yang sangat sulit ia lupakan, bahkan sudah mendarah daging.
Matahari kian meninggi, udara tidak adem lagi. Tidak terlihat lagi  embun memantulkan cahaya yang berkilauan bak mutiara. Burung tekukur milik bapak kosnya kini diam. Bunga-bunga di depan rumah kos itu tidak melambai lagi. Budi masih termenung, mata menatap langit dengan tatapan tanpa makna. Dia tidak melihat apa-apa di sana. Yang ada hanyalah sang surya yang selalu setia memantulkan sinarnya.
 Ia tersentak kaget, “kreng…kreng…kreng,”telepon genggamnya berdering. Dengan sigap, ia meraih telepon gengganya.
“Kamu tunggu di kos aja, aku akan menjemputmu”.
“Iya No,” jawabnya singkat.
Matanya melirik jam dinding yang tergantung di kamar sebelah kamarnya. Jarum jam menunjukkan angka 09.00, pertanda ia harus cepat membersihkan tubuhnya dari segala mimpi buruk semalam.
***
Ia kembali duduk di tempat semula saat sebelum ia mandi. Ia mengenakan kemeja lengan panjang, celana jins berwarna hitam dengan sepatu bertuliskan Dalass di kakinya. Pikirannya kembali melayang jauh, sejauh imajinasinya membawanya. Dia hanya berpikir, apakah ini akhir dari sebuah persahabatan yang mereka jalani selama tiga tahun lamanya. Persahabatan yang begitu indah, hancur lebur karena masalah yang sebenarnya bisa dianggap sepele. Dewi, ia adalah penyebab dari masalah ini.
“Ayo Bud, naik,” seru Ano dari luar pagar
Ia terkejut mendengar suara temannya. Ano tampak rapi hari itu. Kemeja hitam, celana kain, dan sepatu hitam. Gayanya sepadan dengan sepeda motor Jupiter miliknya.
            “Iya No,” jawabnya sambil melangkah menuju sahabatnya itu.
            “Pagi-pagi kok melamun,” kata Ano sambil menstater motor kesayangannya.
            “Siapa yang melamun No?” tanya Budi pura-pura.
“Ya kamulah, siapa lagi? tidak mungkin aku kan?” Ano balik bertanya dengan senyum di garis bibirnya.
Budi hanya tersenyum lirih menatap Ano yang sangat baik padanya. Semenjak Ano memiliki sepeda motor, Budi selalu dijemput di kosnya. Ia seperti bos yang selalu dijemput dan diantar pulang. Tetapi, Ano tidak merasa terbebani. Justru Ano merasa senang bisa membantu sahabatnya.
“Kamu tidak usah jemput dan antar aku lagi No,” kata Budi sesampainya di kampus.
“Kenapa Bud? Ataukah kamu tidak mau lagi berteman denganku? Atau mungkin aku bersalah padamu, sehingga kamu mengatakan hal itu,” tanya Ano penasaran dan sedikit gusar. Itu terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Bukan begitu No, kamu tidak memiliki salah apa-apa terhadapku. Kamu sangat baik kepadaku,” kata Budi lirih.
“Tetapi, kenapa kamu melarangku menjemput dan memgantarmu pulang?” tanya Ano sekali lagi.
“Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Itu saja No alasanku,” jawab Budi tunduk.
“Aku merasa tidak direpotkan,” jawab Ano sambil berlalu.
Budi terdiam, duduk berpangku tangan menatap setiap orang yang lalu-lalang di hadapannya. Dia tidak mencoba mengejar Ano untuk menjelaskan sekali lagi, mengapa tadi ia berbicara seperti itu. Dia terus diam dengan ditemani sebatang rokok yang diambil dari dalam saku celananya. “Krengggggg…,” telepon genggamnya berdering.
“Dosennya sudah di kelas, ayo masuk”.
Ia tersenyum membaca pesan singkat dari Ano. Dia berpikir bahwa, Ano tidak marah lagi padanya.
            Dengan langkah cepat, ia masuk ruang kuliah. Dia menuju bangku paling belakang lajur kiri. Ia mulai membuka tas jinjingnya, mengambil balpoin dan juga buku catatannya. Ia menoleh ke kanan tanpa bermaksud apa-apa, hanya ingin melihat-lihat. Tetapi yang ia dapat adalah tatapan tajam penuh amarah. Mata itu terlihat merah, wajahnya tidak beda jauh dengan hantu kala ia marah. Tatapan itu membuat Budi merasa ia mendapat maslah baru. Ia mencoba berpaling dari mata elang itu, ia tunduk dan jiwa mengamuk gelisah.
            “Terrrrrrrrrrr….terrrrrrrrrr,” telepon genggamnya bergetar.
            “Tatap aku.”
Ia resah, ia merasakan penderitaan lebih dari sakit hati yang ia rasakan. Bayangkan saja, yang menatapnya bukanlah bola mata baru. Namun, bola mata itu adalah bola mata yang ia kenal tiga tahun lalu. Waktu semester satu, bola mata itu sangat baik. Tatapannya lembut tak bersuara. Selama ini Budi selalu bersama bola mata dan juga Ano. Hari ini, dia sudah berubah. Dia kini tidak seperti bola mata yang ia kenal tiga tahun lalu. Sekarang, bola mata itu berubah seperti bola mata harimau yang siap menerkam mangsanya. Seperti bola mata singa yang sedang mengejar rusa di padang rumput. Rambutnya berubah menjadi duri yang runcing. Otot tangannya terlihat jelas dari lajur sebelah. Giginya terus saja berbunyi. Ia sangat marah, ia berubah. Ia tahu, itu semua karena Dewi, gadis cantik yang mereka perebutkan.
            Perlahan-lahan, Budi mencoba menenangkan diri. Dia menganggap hal itu tidak pernah terjadi. Ia memandang keluar jendela, batang-batang pohon di luar meliuk-liuk oleh hembusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang penuh pesona. Semakin lama ia memandang, semakin jelas apa yang dilihatnya. Yang ia dapat bukanlah ketenangan dan terbebas dari masalah. Ia menemukan bayangan Dewi yang tampak melambai dan menari. Ia melihat Dewi mengenakan baju putih salju, sepatu kaca dan tanganya yang lembut seakan mengulur dan mengajaknya berdendang bersama. Senyumnya yang manja ia torehkan, rambutnya berderai tak berpita. Wajah cantiknya sembunyi dibalik helai rambut di atas dahinya. Dewi terlihat anggun. Mata ingin terus memandang jika genap menjauh. Raga ingin selalu berjua jika terpisah, ingin selalu bermimpi saat malam kembali. Pesona ayu selalu terbayang dalam benaknya.
“Tem,” Ano menepuk pundaknya dari belakang.
            “Kamu tidak marah padaku?” tanya Budi heran.
“Tidak Bud, karena aku melakukan ini dengan ikhlas. Kau adalah sahabaatku, Andy juga sahabatku. Kalian berdua keluarga keduaku. Aku pikir, aku wajib membantu dan melayani sahabatku sekuat dan semampuku. Jadi, apapun yang kamu katakan, tidak akan membuatku berhenti menjemput dan mengantarmu pulang, begitu juga dengan Andy,” jawab Ano dengan mantap.
“Aku tak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu,” kata Budi pelan.
“Kamu tidak perlu membalasnya,” jawab Ano lembut berbisik di telinganya.
“Kamu baik sekali No. Kamu tidak memilah-milah dalam pergaulan. Kamu tidak pernah bertanya siapa aku, darimana asalku, apa nama sukuku, apa agamaku, kamu tidak melihat itu,” Budi tunduk.
“Aku tidak menggunakan kata diskriminasi dalam kamus hidupku. Kamu juga baik Bud, kamu mau membantu aku menyelsaikan tugas-tugas kampus. Kamu rela meluangkan waktu untuk belajar denganku, mengajari aku tentang tugas-tugas yang tak kumengerti. Aku salut padamu Bud,” seru Ano sambil menepuk pundaknya.
Semuanya terasa indah, saat hati kembali berdamai. Tidak adalagi kesalahpahaman di antara mereka berdua. Wajah Budi tidak kusut lagi, Ano tidak gusar lagi. keduanya kembali menjalin persahabatan yang tidak rubahnya seperti saat mereka berkenalan di kampus. Ia tidak cemas lagi, rasa gelisah hilang dibawa angin yang berlalu.
“Aku tidak mau dengar, kamu dan Andy bertikai,” kata Ano tiba-tiba.
Budi menoleh, dadanya sesak, kecemasan mencengkram jiwanya. Keceriaan berganti kecemasan. Keduanya diam tak berkata sepatah kata pun. Suasana menjadi hening. Budi marasa ada gelembung raksasa menempel di tembok di belakangnya, mengisap semua kenyamanan dan ketenangan jiwanya, sebagai gantinya adalah perasaan yang tak tentu. Jiwanya berkecamuk hebat, detak jantungnya lebih cepat dari sebelumnya. Tidak ada yang berani memulai bicara, dua-duanya membisu. Duduk tak bergerak bak patung yang dipamerkan di museum. Budi terus saja diam, tak sanggup bercerita mengapa ia sampai bertikai dengan Andy yang nota bene adalah sahabat karib sejak ia kuliah di Malang.
“Aku tahu, apa masalah kalian berdua,” kata Ano sambil menghembuskan asap rokoknya. Lanjutnya,”Aku pikir, masalah ini tidak seharusnya meruntuhkan tali persahabatan kita. Seandainya salah satu dari kalian ada yang bisa mengendalikan ego, dan mudah-mudahan bisa membuang jauh egonya, mungkin masalah ini bisa diselesaikan tanpa harus bermusuhan”.
Budi bangkit dari kebisuan dan kekakuannya, ia melangkah pelan memutari tempat duduknya. Ia menatap keluar halaman kampus, ia berharap dia akan menemukan Andy. “Biarkan semuanya selesai sekarang,” gumamnya dalam hati. Namun, ia tidak melihat ada Andy di sana. Dia tak berani menelepon atau mengirim pesan. Ia takut, Andy malah salah paham atas dirinya.
            “Ini semua tentang Dewi No,” kata Budi dengan suara parau.
“Aku juga tahu kalau ini masalah cinta,” jawab Ano sedikit acuh. Lanjut Ano,”Yang membuatku bingung hanya satu, mengapa dengan masalah kecil ini kalian menjadi seperti kucing dan tikus”.
“Andy hanya salah paham denganku. Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Dewi sekarang. Aku jujur No, aku berani sumpah. Aku tidak mungkin merusak persahabatan kita,” kata Budi dengan suara keras.
“Aku berharap itu pengakuan yang jujur. Jangan sekali-sekali membohongi hati. Hati adalah nurani, hati tidak bisa dibohongi. Hati akan selalu berkata yang benar, hati selalu berkata apa adanya”.
“Duar….,” semua perkataan Ano mengenai hatinya. Menembus kulit arinya, dan sampai di jantung. Kata-kata itu bagaikan peluru timah tajam yang menembus tulang, panas dan akan terkapar seketika. Budi tak menyangka begitu dalam yang ia tahu tentang cintanya kepada Dewi. Tadinya, Budi berpikir, Ano tidak tahu kalau ia berbohong. “Benar, hati tak bisa dibohongi, hati selalu berkata benar. Aku memang masih mencintainya. Aku selalu merindukanya setiap saat. Tetapi, pantaskah aku merusak hubungan Andy dengan Dewi? Pantaskah aku memupuskan persahabatan kami?”. Beribu pertanyaan menjelma dalam benaknya, membuatnya kaku dan bimbang.
“Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” kata Ano sambil menggenggam tangan sahabatnya.
Ia tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya yang dipenuhi rambut ikal.
***
Panasnya matahari tidak terasa lagi. Yang ia rasakan hanyalah semilir angin sore yang bertiup mesra menerpa sekujur tubuhnya. Ia merasa dirinya jauh dari kedamaian saat ini. Ia selalu dikerumuni masalah, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Ia menghibur diri dari keterasingan dengan memutar lagu di telepon genggamnya. Berkali-kali ia mengganti lagu, namun kesemuanya itu tak mampu meredam masalah yang kini bersarang dalam singgasana hatinya. Ia mencaci dirinya sendiri. Ia merasa dulu ia telah membuat keputusan yang sangat salah. Keputusan yang kini ia sesalkan. Ia tak mampu berlari dari kenyataan, bahwa ia masih mencintai Dewi mantan kekasihnya. Suatu kenyataan juga, kalau Dewi tak mencintainya lagi, Dewi lebih mencintai Andy. Ia terus mengurung dirinya dalam kamar, memukul tembok yang ia tahu tak akan bisa membantunya menyelsaikan masalah. Ia menendang-nendang kaki meja, yang ia tahu itu akan menimbulkan sakit. Ia terpenjara dalam kenangan masa lalu yang kalut. Kenangan yang pantas diingat namun menyakitkan. Yang ia rasakan hanyalah sepi merasuk kalbu.
Waktu terus berlalu, jarum jam terus berputar. Langit kini suram, mendung, tak satu pun cahaya bintang yang nampak. Sepertihalnya ia yang dalam kesepian. Kesunyian kian lengkap kala bulan tak mau membagi sinar. Malam itu ia menatap langit, selalu berharap bayangannya menari dan membuatnya terlepas dari belenggu kesedihan. Meskipun ia tahu, itu tak mungkin, dan ia tahu Dewi tak mencintainya lagi. Ia beraharap bidadari surgawi datang menemaninya malam itu agar ia bisa mencurahkan isi hati meski dalam dunia imajinasi yang hanya sementara dan tak kekal. Ia ingin suguhkan kedamaian sebagai bentuk untaian kasih yang diciptakan dari mutiara-mutiara kedamaian.
Malam semakin larut, ia belum juga tidur. Ia masih memikirkan, apa yang harus ia katakan kepada kedua sahabatnya. “Apakah aku harus jujur pada Ano juga Andy. Tetapi, apakah aku sanggup mengatakannya. Mungkinkah hatiku bisa bertahan, seandainya mereka memarahiku,” pikirnya dalam hati.
***
Seperti biasa, setiap harinya kecuali hari Minggu, ia harus ke kampus. Ia mejalankan aktivitasnya sebagai mahasiswa. Ia bertekad untuk membahagiakan kedua orang tuanya di kampung. Ia tetap sadar, kalau ia hanya anak desa yang kini kuliah di kota. Baginya Malang adalah kota Metropolitan, yang tak ada beda juahnya dengan Jakarta.
“Kita ketemu di kampus saja. Aku jalan kaki, apalagi aku dengan teman-teman kosku”
“Yang benar kamu?”
“Iya No”.
“Ya sudah, kalau begitu aku ke kosnya Andy”.
Hembusan udara pagi membuatnya kedinginan. Rokoknya sudah habis. Ia rapatkan kedua tangannya ke dada, sekedar mencari kehangatan. Ia terus melangkah, menyusuri jalan setapak yang biasa ia lalui dulu sebelum Ano memiliki sepeda motor.
Ia tak menghiraukan betapa udara pagi menusuk-nusuk kulitnya. ia tetap bersemangat.
“Trrrrr…trrrrrr,” telepon genggamnya bergetar.
            “Kami tunggu di jembatan depan kampus.”
Pesan yang dikirim Ano sangat singkat, tetapi ia merasa gentar. Ia hanya takut, Andy dan Ano tidak akan memaafkannya. Dari kejauhan, ia melihat pagi itu Andy kelihatan santai, jauh berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Ano juga kelhatan santai, dengan gayanya ia menghembuskan asap rokok keluar dari lubang hidung. Budi menghentikan langkahnya, namun hatinya terus berkata,”pergilah, jangan takut”. Ia melangkah pelan, tak ada suara. Ano hanya tersenyum lirih saat ia melihat Budi berjalan gontai dan gugup. Budi menarik nafas panjang, ia mempersiapkan diri untuk memulai berbicara.
“Aku bersalah pada kalian berdua. Aku telah membohongi kalian berdua. Aku melakukan  itu, aku juga tidak tahu apa alasannya. Namun, yang pasti aku tak mau merusak persahabatan kita,” kata Budi mengawali pembicaraan.
“Aku tahu, kamu pasti minta maaf pagi ini. Aku senang sekali Bud, akhirnya kamu mengakui kesalahanmu. Aku sebenarnya tahu, kamu membohongiku tentang Dewi. Tetapi, sudahlah Andy pasti memaafkanmu,” kata Ano meyakinkannya.
“Ndy, aku memang mencintai Dewi dari dulu sampai sekarang. Namun, aku tahu, itu hanya kenangan yang cukup untuk dirangkai, meskipun itu tak sempurna. Tetapi, sekarang dia milikmu, aku sadar selama ini aku salah. Aku telah menganggu hubungan kalian. Aku mohon, maafkan aku Ndy.”
“Sahabat yang terbaik bagiku adalah kalian berdua. Kalian adalah orang-orang yang selalu menemaniku di sini. Meskipun tidak ada yang sama antara aku dan kalian, agamaku dengan kalian beda, suku pun beda, daerah asal beda, warna kulit beda, tetapi aku tidak merasa kalian mengejekku, atau kalian berbuat diskriminasi denganku. Aku merasa bahagia bisa mengenal kalian. Seberapapun kesalahanmu, aku memaafkanmu. Aku juga sadar, aku terlalu ego selama beberapa hari ini, sampai aku tidak bisa berpikir jernih untuk menyelsaikan masalah ini. Aku tahu Bud, kamu masih sayang sama Dewi,” kata Andy dengan suara tertahan. Seperti ada beban berat di mulutnya.
“Sekarang, aku mencintainya sebagai seorang sahabat sepertimu. Jangan takut, aku tidak mengulang kesalahanku,” jawabnya dengan mantap.
“Ndy, aku juga tahu, dewi sangat mencintaimu,” sahut Ano bermaksud bercanda.
“Aku percaya kamu Bud,” sambil berjalan memeluk Budi erat.
“yeah……..,” gitu dong jadi orang. Saling memaafkan,” seru Ano sambil bertepuk tangan.
sekian



Selengkapnya...